Minggu, 21 Oktober 2012

PENGHAMBAT KARIR

Manusia yang hidupnya bergantung kepada gaji adalah seorang buruh; sekalipun pangkatnya Direktur Utama. namun mengapa para tidak ikut-ikutan demonstrasi untuk memperingati tanggal 1 Mei (May Day) sebagai hari buruh? Karena, orang yang karirnya bagus tidak lagi disebut buruh. Sedangkan mereka yang karirnya buruk, biasanya memang disebut sebagai buruh. Jika Anda seorang karyawan; maka pastikanlah bahwa Anda memang layak untuk tidak menyandang gelar sebagai buruh. Bagaimana caranya?
Sederhana saja; bangunlah karir Anda sampai ke titik dimana Anda layak dihormati dan dihargai tinggi. Agar bisa membangun karir dengan baik, maka Anda harus membuang jauh-jauh mental ‘b-u-r-u-h’. Mengapa demikian? Karena mental b-u-r-u-h itu menyimpan 5 faktor penghambat karir yang sangat mematikan. dan faktor itu adalah:

B =Bersembunyi dibalik topeng ‘nasib’. Baik atau buruknya karir seseorang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nasib. Perhatikan para pekerja gagal. Mereka menganggap bahwa mandeknya karir dan bayaran mereka sudah menjadi nasib sehingga tidak terdorong untuk menggeliat bangkit dari posisi rendahnya. Walhasil, dari tahun ke tahun tidak ada perbaikan jabatan dan pendapatan signifikan yang mereka dapatkan. Jadilah karyawan yang berani berjuang untuk memperbaiki karir sendiri karena nasib selalu mengikuti ikhtiar yang Anda lakukan.

U =Ulet hanya ketika diawasi oleh atasan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak sekali karyawan yang ulet, gigih, dan giat hanya ketika ada atasannya saja. Tapi saat atasannya tidak ada; mereka berleha-leha atau mengerjakan sesuatu yang tidak produktif pada jam kerja. Para pegawai berdasi pun banyak yang memiliki perilaku seperti ini. Padahal, sikap seperti ini jelas sekali menunjukkan jika mereka tidak layak untuk mendapatkan tanggungjawab yang lebih besar. Jadilah karyawan yang bisa diandalkan, baik ada atau tidaknya atasan; karena kualitas seseorang dinilai dari tanggungjawab pribadinya ketika dia sedang sendirian.   

R =Rendah diri. Kita sering keliru menempatkan kerendahan hati dengan sifat rendah diri. Ketika berhadapan dengan senior atau orang yang pendidikannya lebih tinggi, kita merasa kecil sekali. Padahal sebagian besar manager atau direktur pada mulanya adalah orang-orang yang menduduki posisi rendah seperti kebanyakan karyawan lainnya. Sifat rendah diri mengungkung orang dalam kotak inferioritas sehingga kapasitas dirinya tidak terdaya gunakan. Jadilah karyawan yang rendah hati, karena mereka yang rendah hati memiliki kualitas diri yang tinggi, namun tetap bersikap arif, positif dan konstruktif.

U =Unjuk rasa melampaui unjuk prestasi. Unjuk rasa tidak selalu harus turun ke jalan. Protes soal kenaikan gaji adalah contoh nyata unjuk rasa yang sering terjadi di kantor-kantor. Menggunjingkan atasan dan managemen di kantin atau toilet juga merupakan bentuk unjuk rasa yang tidak sehat. Perhatikan para karyawan yang tidak puas dengan kebijakan perusahaan. Mereka berkasak-kusuk sambil mengkorupsi jam kerja. Padahal, itu semakin menunjukkan kualitas buruk mereka. Jadilah karyawan yang rajin unjuk prestasi, karena prestasi membuka peluang untuk mendapatkan kesempatan dan pendapatan yang lebih besar.  

H =Hitung-hitungan soal pekerjaan dan imbalan. Banyak sekali karyawan potensial yang akhirnya gagal membangun karirnya hanya karena merasa tidak dibayar dengan pantas. “Kalau gua digaji cuma segini, ngapain mesti kerja keras?’ begitu katanya. Padahal, sikap seperti itu tidak merugikan perusahaan lebih dari kerugian yang dialami oleh orang itu sendiri. Mereka membuang peluang untuk mengkonversi potensi dirinya menjadi karir yang cemerlang. Jadilah karyawan yang berfokus kepada kontribusi yang tinggi, karena bayaran atau imbalan akan mengikutinya kemudian.   

Jika Anda mampu membuang mental ‘b-u-r-u-h’  diatas, maka Anda tidak akan menjadi buruh rendahan. Sebaliknya, Anda akan menjadi karyawan yang ketika pensiun nanti; memiliki sesuatu yang layak untuk dibanggakan.
Khusus untuk para karyawan yang bersaing dalam karier dengan cara tidak sehat dan menjatuhkan orang lain, maka sangat hina dirinya walau semenarik apapun dia "tak peduli WANITA maupun PRIA" "Karyawan Rendah ataupun Top Manajemen" semoga hina dan murka ALLAH SWT untuknya.

Selasa, 02 Oktober 2012

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP




Pengertian “setiap orang” dalam Pasal 1 angka (32) UUPPLH, adalah orang perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai subyek hukum secara materiil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)      Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya.
b)      Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.
c)       Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d)      Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.
e)      Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.
Sifatkeanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.
f)       Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.
Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama badan hukum, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa:
a)      tindakan ilegal dari badan hukum dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang dilakukan badan hukum tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
b)      baik badan hukum (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons”) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
c)       motivasi kejahatan yang dilakukan badan hukum bukan hanya bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
PT Perkebunan Nusantara I (Persero) sebagai suatu badan hukum merupakan subyek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan yang sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Tanggungjawab sosial dan moral perusahaan dicerminkan dari suatu perusahaan yang bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahan itu beroperasi. Secara positif perusahaan diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan juga demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan seterusnya akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan itu beserta produk-produknya. Sebaliknya, ketidakperdulian perusahan akan selalu menimbulkan sikap protes, permusuhan, dan penolakan atas kehadiran perusahaan itu beserta produknya, tidak hanya dari masyarakat setempat di sekitar perusahaan itu melainkan juga sampai pada tingkat internasional.
Beberapa peranan yang diharapkan terhadap PT di dalam proses modernisasi atau pembangunan, diantaranya memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup. Menyerasikan antara lingkungan hidup dengan pembangunan bukan hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentunya lingkungan hidup perlu mendapat perlindungan hukum. Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum bagi lingkungan hidup , namun demikian perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan yang secara inheren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana suatu PT dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH. Ketentuan Pasal 116 UUPPLH, berbunyi:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
maka dapat dijelaskan dijelaskan sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 116 UUPPLH menetapkan bahwa disamping orang secara pribadi, tindak pidana lingkungan dapat dilakukan oleh PT;.
2. Penyebutan badan usaha (dibaca PT) menunjukkan bahwa subyek hukum pidana lingkungan adalah badan hukum (dibaca PT) dan bentuk organisasi lain yang bukan badan hukum.
3. Prinsip dalam pertanggungjawaban pidana PT dikenakan kepada:
a. PT; atau
b. PT dan Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
c. PT dan Mereka yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
d. Mereka yang pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
e. Mereka yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
PT dianggap telah melakukan tindak pidana lingkungan jika tindak pidana lingkungan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kerja dengan badan usaha maupun hubungan lain dengan PT, yang bertindak dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha PT yang bersangkutan. Hubungan kerja tersebut merupakan hubungan antara pengusaha/orang perorangan (mempunyai badan usaha) dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja. Dengan demikian, baik PT maupun orang-orang yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha korporasi yang bersangkutan, dapat dituntut pidana dan dijatuhi sanksi pidana beserta tindakan tata tertib. Sebaliknya, suatu PT juga akan terbebas dari pertanggungjawaban secara pidana atau dianggap tidak bersalah, jika PT bisa membuktikan bahwa PT tidak melakukan suatu kesalahan, berhubung orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak ada hubungan kerja atau hubungan lainnya dengan PT atau perbuatan itu dilakukan oleh seseorang di luar lingkungan aktivitas usaha PT itu.
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada PT itu sendiri, atau kepada pengurus PT atau kepada pengurus beserta PT, ini menjadi permasalahan dalam praktek , karena dalam kasus lingkungan hidup. ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan prilaku/ perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan.
Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum yaitu dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban¬-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum.
Menurut A.L.J. Van Strien, bagaimanapun beratnya akibat/dampak dari kriminalitas lingkungan, kita tetap harus memperhatikan aspek-aspek pembatasan penyelenggaraan kekuasaan dari asas legalitas maupun asas kesalahan. Cara bagaimana kedua asas itu dikonkritasikan, tergantung pada tindak pidana yang dilakukan.
Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
Menetapkan PT sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada PT tersebut. PT secara faktual mempunyai wewenang mengatur/ menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang.
PT yang dalam kenyataannya kurang/ tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa PT itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga PT dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
PT dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/ langkah-langkah yang harus diambilnya , yaitu:
1. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertang-gungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan;
4. penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa PT kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang.
Untuk menetapkan PT sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Apakah kasus tersebut berkenan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana;
2. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan;
3. Sifat, struktur dan bidang kerja dari PT tersebut.
Menurut Muladi , berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecendrungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal:
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi¬punishmentprovision);
4. Terdapat kesalahan manajemen Main korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah¬-langkah korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepred) oleh korporasi tersebut.
Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggung¬jawab di antara pengurus suatu PT yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada PT yang bersangkutan. Penelusuran dari dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan PT yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus PT tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.
Memperhatikan ketentuan Pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang menetapkan: “kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup” dan “berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”, dan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, perlu jadi bahan pemikiran untuk menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana PT di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada PT dan para pengurusnya (dewan direksi), para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup pada PT (bahkan dapat dimintakan kepada para pemegang saham maupun para komisaris ) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang serius dan/atau menimbulkan kematian manusia.
Pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat didasarkan kepada hal-hal:
1. Atas dasar falsafah intergralistik, yaksi segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;
2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945;
3. Untuk memberantas anomie of succes (kesuksesan tanpa aturan);
4. Untuk perlindungan konsumen
5. untuk kemajuan teknologi
PT yang mempunyai kesalahan, harus menanggungnya dengan kekayaannya, dan selanjutnya adanya pengetahuan bersama dari sebagian anggota dapat dianggap sebagai kesengajaan PT itu. Kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan setiap orang yang bertindak untuk PT itu jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari PT itu sendiri.
PT dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara:
l. Memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan biasanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya. Perbaikan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan menjadikan diterapkannya asas subsidaritas dalam penegakan hukum pidana.
2. Melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap pemberitahuan pelanggaran yang dilakukan dan perbaikan tersebut didokumen¬tasikan dengan baik.
3. Mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instasi) tersebut.
4. Memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga a. catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, dan b. jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
5. Membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbah B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. – Kontrak dengan pihak yang menangani limbah harus diperiksa dan diteliti oleh korporasi dan konsultan hukumnya guna menjamin bahwa proses penanganan limbah telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
6. Menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencegahan dari penggunaan B3. Perusahaan memenej, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari operasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Namun demikian, Dewan Direksi PT tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal PT yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan, oleh karena didasarkan kepada Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) jo. Pasal 2 dan 4 UUPT dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPLH serta prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care .
“Duty of care ” direksi” , antara lain:
1. Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan iktikad baik (good faith) dimana direkur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati,
2. Kewajiban atas standard kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional.
Kegagalan untuk melaksanakan “duty of care ” tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbutan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia , oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standard perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin “constructive fraud ” untuk pelanggaran fiduciary duty .
Makna dan aspek iktikad baik yang lain dalam konteks pengurusan PT adalah patuh dan taat (obedience) terhadap hukum dalam arti luas, terhadap peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar PT. Ketaatan mematuhi peraturan perundang-undangan dalam rangka pegurus PT, wajib dilakukan dengan iktikad baik, mengandung arti setiap orang Direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan, wajib melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (statutory duty). Jika anggota Direksi tahu tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau tidak hati-hati atau sembrono (carelessly) dalam melaksanakan kewajiban mengurus Perseroan, mengakibatkan pengurusan itu melanggar peraturan perundang-undangan maka tindakan pengurusan itu “melawan hukum” (onwettig, unlawful).
Dengan demikian, direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Untuk menilai apakah direksi melakukan pengawasan yang cukup terhadap kegiatan-kegiatan (operasional) PT, dapat dilihat dari:
a. Partisipasi direksi di dalam penciptaan dan persetujuan atas rencana bisnis korporasi yang ada kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup,
b. Partisipasi aktif di bidang manajemen, khususnya menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan B3;
c. Melakukan pengawasan terhadap fasilitas¬fasilitas korporasi secara berulang-ulang;
d. Mengambil tindakan terhadap karyawan/bawahan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
e. Menunjuk/mengangkat individu yang memiliki kualitas dan kemampuan untuk bertanggung¬jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup korporasi;
f. Menunjuk/mengangkat konsultan yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan secara berkala;
g. Permintaan untuk mendapatkan perangkat/ instrumen guna membantu manajemen maupun operasional korporasi dalam mentaati hukum lingkungan;
h. Meminta laporan secara berkala kepada penanggungjawab pengelolaan lingkungan korporasi yang menyangkut pencegahan dan perbaikan.
i. Meminta kepada manajemen korporasi untuk menerapkan program yang dapat meminimalisir kesalahan karyawan dan melaksanakan program penyuluhan.
j. Menyediakan cadangan ganti kerugian yang memadai dalam tanggung jawab korporasi terhadap kemungkinan kerugian lingkungan.
k. Direksi korporasi yang peka terhadap masalah lingkungan harus menguji ganti rugi yang memadai, mencakup tanggung jawab lingkungan secara khusus.
l. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kebijakan tanggung jawab direksi dan pejabat sehingga dari aspek komersil perusahaan asuransi dapat memberi dana yang memadai .
Langkah-langkah yang diambil oleh direksi tersebut di atas dapat mengurangi tanggungjawab lingkungan direksi, setidak-tidaknya tindakan direksi hanya dapat dikategorikan sebagai kealpaan (negligence) bukan kesengajaan.
Dalam perkembangan selanjutnya dapat dikembangkan pemikian bahwa para pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena pemegang saham memiliki tanggung jawab untuk mengontrol atau mengarahkan aktivitas korporasi yang membahayakan lingkungan berdasarkan besarnya persentasi saham. Oleh karena itu, bagi pengelola perusahaan yang berpotensi mencemarkan/merusak lingkungan hidup, seyogia saya menetapkan “standard moral bisnis yang tinggi” (high standards of business morality).
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH di dalamnya terdapat “prinsip vicarious liability”. Berdasarkan prinsip vicarious liability ini, pelaku usaha dapat dituntut bertanggungjawab atas perbuatannya, termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat yang bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.
Berdasarkan prinsip vicarious liability, pimpinan PT atau siapa saja yang memberi tugas atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya. Tanggung jawab ini diperluas hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. Dengan demikian, siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan apa saja pekerjaan itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi, menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut Pasal 116 ayat (2) UUPLH, pihak perusahaan yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin, memiliki kapasitas pertanggungjawaban untuk dipidana.
Pasal 116 UUPPLH berfungsi mengantisipasi kemungkinan PT bisa berlindung di balik hubungan kontraktual yang dilakukannya dengan pihak lain, kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH memberikan perluasan tanggung jawab, sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu:
1. Perbuatan adalah atas nama korporasi.
2. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain.
3. Bertindak di dalam lingkungan korporasi
Selanjutnya, subjek liabilitynya (pihak-pihak yang bertanggungjawab), menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu pemberi perintah atau pengambil keputusan atau yang bertindak sebagai pemimpin yang didasarkan kepada hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain.
Perumusan ketentuan pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPPLH, mencantumkan unsur sengaja atau kealpaan/kelalaian. Dicantumkannya unsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap suatu PT dalam UUPPLH menganut prinsip liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan), yakni menganut asas kesalahan atau culpabilitas.

SOSIALISASI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO)




I. PENDAHULUAN
Dalam persiapan dan perencanaan seluruh program kerja Perusahaan guna memenuhi kepatuhan terhadap Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Dimana program ISPO ini bertujuan mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memproduksi kelapa sawit berkelanjutan sesuai peraturan; Melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit agar berdaya saing di pasar internasional; Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestaraian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup serta Hasil Pertemuan Copenhagen 2009.,
II. TUJUAN
Tujuan sosialisasi adalah memberikan pemahaman yang memadai tentang Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Inonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), kepada seluruh pemangku kepentingan di lingkungan PT Perkebunan Nusantara I (Persero).
IV. RINGKASAN MATERI
A.   Sesuai Dengan Pengarahan Menteri Pertanian RI
1.    Kelapa sawit merupakan komoditi ekspor andalan dari sub sektor perkebunan yang telah berkontribusi secara signifikan terhadap penerimaan devisa negara khususnya dari sektor non migas. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi negara produsen sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 16,4 Juta Ton, dimana 12,1 Juta Ton diekspor dalam bentuk CPO. Pada tahun 2010 total luas areal kelapa sawit telah mencapai 8,1 Juta Ha dengan produksi CPO mencapai 19,7 Juta Ton dan ekspor sebesar 16,3 Juta Ton dengan nilai ekspor setara USD13,4 Juta.
2.    Negara tujuan utama ekspor CPO masih diduduki oleh India, yaitu 5,3 Juta Ton (32,5%) diikuti China 2,2 Juta Ton (13,3%) dan sisanya adalah Belanda, Italia, Bangladesh dan negara-negara lainnya. Kontribusi minyak sawit Indonesia dalam memasok minyak sayur ke pasar dunia cukup besar, yaitu 15,1% sedangkan pangsa produksi minyak sawit Indonesia terhadap produksi minyak dunia sekitar 47,5%. Diperkirakan produksi minyak sawit Indonesia akan terus meningkat sampai dengan tahun 2020, hingga mencapai sekitar 40 Juta Ton.
3.    Kampanye Negatif terhadap sawit (isu deforestasi, degradasi hutan, rusaknya hábitat dan terbunuhnya satwa liar yang dilindungi, meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan seterusnya ) dalam beberapa tahun terakhir sangat marak, tidak hanya dilakukan oleh LSM, tetapi juga ditingkat Negara dengan menerapkan hambatan nontarif terhadap minyak sawit. Hal ini terjadi karena adanya kehawatiran minyak nabati yang diproduksi oleh Negara tersebut kalah bersaing dengan minyak sawit.
4.    Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/EPA) awal tahun ini menerapkan Notice of Data Availability (NODA). Dalam Ketentuan tersebut EPA menerapkan standar emisi CPO untuk Biodisel sebesar 20%. Sedangkan emisi CPO Indonesia dinilai baru 17 % sehingga belum memenuhi standar emisi negara tersebut. Pemerintah AS memberikan kesempatan kepada Indonesia sebagai eksportir CPO terbesar dunia untuk memberikan penjelasan (notifikasi) hingga 28 Maret 2012. Selain AS, Uni Eropa sudah lebih dulu menerapkan standar emisi untuk CPO sebesar 35 %, sedangkan CPO Indonesia dinilai baru mencapai 19%.
5.    Saat ini konsumen terbesar CPO Indonesia adalah India, disusul Tiongkok dan Uni Eropa, dengan menyerap 60 % ekspor sawit Indonesai. Ekspor minyak sawit ke Amerika Serikat relative kecil, akan tetapi karena AS Negara yang berpengaruh besar terhadap perdagangan dunia, sehingga perlu diwaspadai dampak penerapan non tariff barrier tersebut.
6.    Agar bisa meningkatkan pasar ditengah kampanye negative, kita harus melakukan langkah-langkah strategis dalam menjawab tantangan tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut Kementerian Pertanian telah menetapkan satu kebijakan baru di bidang perkelapasawitan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil / ISPO). Peraturan Menteri tersebut bersifat mandatory (wajib) dan mengatur persyaratan ISPO yang harus diterapkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, sedangkan ISPO untuk pekebunan kelapa sawit rakyat (Plasma dan Swadaya) akan diatur kemudian.
7.    Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dapat mengajukan permohonan sertifikat ISPO harus memenuhi para syarat, yaitu sudah mendapat Kelas I, Kelas II, dan Kelas III berdasarkan hasil Penilaian Usaha Perkebunan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Pada tahun ini juga Kementerian Pertanian akan melaksanakan penilain kelas kebun untuk persyaratan sertifikasi ISPO.
8.    Perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usahanya sesuai dengan ketentuan peraturan ini yang dibuktikan dengan diperolehnya Sertifikat ISPO.
9.    Sertifikasi ISPO akan dimulai pada awal Maret 2012. Untuk itu berbagai persiapan telah dilakukan, seperti Penyusunan Petunjuk Penerapan Prinsip dan Kriteria ISPO, Pelatihan Auditor ISPO, Pembentukan Keanggotaan Komisi ISPO, Pembentukan Sekretariat Komisi ISPO, Sosialisasi ISPO di 12 Provinsi, dan yang sedang dalam proses, yaitu Penunjukkan Lembaga Sertifikasi, serta Pertemuan Sosialisasi ISPO yang saat ini sedang kita selenggarakan. Sosialisasi ISPO juga akan dilaksanakan di 19 provinsi sentra perkebunan kelapa sawit.
10.  Karena Pelaksanaan sertifikasi ISPO sudah dekat, diharapkan seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit mempersiapkan segala sesuatu yang diminta oleh P&C ISPO, agar pelaksaan sertifikasi berjalan dengan lancar dan baik.

B.   Kebijakan di Bidang Perkelapasawitan  
1.    Kebijakan umum pengembangan perkebunan kelapa sawit di dinonesia adalah :
a)    Miningkatkan Produksi, Produktivitas dan Mutu
b)    Meletakkan Usaha Perkebunan Rakyat Sebagai Prioritas
c)    Meningkatkan Nilai Tambah & Efisiensi Agribisnis Kelapa Sawit
d)    Penerapan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menurut Sistem Indonesia
2.    Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit Nasional Pemerintah mempunyai visi pembangunan perkebunan kelapa sawit 35:26 pada tahun 2025, artinya produktivitas ditingkatkan menjadi 35 Ton TBS/Ha/Tahun dan rendemen CPO 26%.
3.    Upaya Kementerian Pertanian dalam mendukung peningkatan produktivitas kelapa sawit adalah sebagai berikut :
a.    Program revitalisasi perkebunan;
b.    Mendorong untuk dilakukan peremajaan kebun-kebun yang sudah berumur 25 tahun dan tidak produktif, khususnya untuk perkebunan rakyat, dengan menggunakan benih unggul bermutu, yang potensi produksinya lebih tinggi dan umur panen yang lebih pendek dari tanaman yang diremajakan;
c.    Merintis fasilitasi penggantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu bersertifikat;
d.    Memberikan kemudahan akses ke sumber benih, antara lain mendorong tumbuhnya waralaba benih kelapa sawit;
e.    Mempermudah akses ke sumber pupuk;
f.     Introduksi model-model peremajaan perkebunan rakyat kelapa sawit, yang diharapkan dapat menekan biaya peremajaan dan ada sumber pendapatan selama menunggu tanaman belum menghasilkan;
g.    Menyediakan benih unggul bermutu bersertifikat untuk wilayah-wilayah khusus, yaitu wilayah pasca bencana, wilayah pasca konflik, perbatasan, wilayah miskin dan tertinggal.
h.    Merintis fasilitasi peningkatan infrastruktur, khususnya jalan kebun;
i.      Melakukan pemberdayaan petani melalui pelatihan, bimbingan, dan pendampingan
4.    Isue Negatif Pengembangan Kelapa Sawit :
a.    Minyak kelapa sawit sebagai minyak yang tidak sehat ?
b.    Penyebab rusaknya lingkungan ?
c.    Penyebab rusaknya hutan dan terjadinya deforestrasi ?
d.    Menyerap air sangat tinggi :
e.    penyebab kekeringan vs banjir ?
f.     Terpinggirkannya indegeneous people ?
g.    Menurunnya/matinya satwa yang dilindungi ?
h.    Menyebabkan pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim ?
i.      CO2 Emission ?
j.      Menyusul tudingan berikutnya secara sistematis ?
5.    Permasalahan dan Tantangan
a.    Tuduhan : Deforestasi, degradasi hutan, merusak habitat dan membunuh satwa liar yang dilindungi, dan seterusnya.
b.    Meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
c.    Indonesia dituduh sebagi penyumbang GRK terbesar ke tiga.
d.    Komitmen Unilateral dari Indonesia untuk mengurangi emisi GRK 26% pada tahun 2020 (Copenhagen, Desember 2009).
e.    Moratorium : Hutan primer dan Lahan gambut
f.     Penerapan Standar Sertifikasi ISPO.
6.    Untuk menjawab permasalah dan tantangan terebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan sebagai berikut :
a.    Memberlakukan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 Tanggal 28 Februari 2007 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan
b.    Memberlakukan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
c.    Kebun kelapa sawit yang sudah mendapat Kelas I, Kelas II, dan Kelas III dapat langsung mengajukan permohonan Sertifikasi ISPO.
d.    Kebun kelapa sawit Kelas I, Kelas II, dan Kelas III harus menerapkan ISPO paling lambat 31 Desember 2014.
e.    Penerapan ISPO bersifat mandatory (harus/wajib) karena ISPO berisi tentang semua ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia
7.    RSPO VS ISPO
-          RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) :
a.    Merupakan standar yang disusun oleh asosiasi nirlaba pemangku kepentingan terkait kelapa sawit atas desakan konsumen Uni Eropa
b.    Di luar Uni Eropa, belum ada tuntutan konsumen untuk menerapkan sustainability seperti RSPO.
c.    RSPO bersifat voluntarily (sukarela), sehingga kurang kuat penegakannya (enforcement), dan tidak berbasis peraturan pemerintah
d.    Tidak ada prasyarat bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit
e.    Selama tahun 2004-2011 baru 79 perusahaan kelapa sawit menjadi anggota RSPO dan kurang lebih 13 yang telah memperoleh CSPO
-          ISPO (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL) :
a.    Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/ OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011.
b.    Diterbitkan dalam rangka pemenuhan sustainability sebagai amanah UUD 1945.
c.    ISPO adalah mandatory (wajib bagi seluruh perusahaan kelapa sawit di Indonesia)
d.    Penegakannya kuat (enforcement) , karena didasarkan atas peraturan dan ketentuan Pemerintah
e.    Seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia wajib menaati ketentuan ISPO mulai dari hulu (kebun) hingga hilir (pengolahan hasil).
f.     Ada prasyarat kebun (Kelas I, Kelas II, dan Kelas III dapat mengajukan permohonan sertifikasi ISPO)
g.    Penerapan ISPO akan dimulai Maret 2012
h.    Paling lambat tanggal 31 Desember 2014, seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah menerapkan persyaratan ISPO
i.      Perusahaan perkebunan kelapa sawit masih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan persiapan dalam rangka memenuhi persyaratan ISPO (7 Prinsip dan Kriteria)
j.      Ada sanksi yang tegas jika pelaku usaha melakukan pelanggaran
k.    Persyaratan ISPO untuk kebun Plasma dan Swadaya dibuat tersendiri (disesuaikan)

C.   Hambatan Perdagangan Minyak Sawit Indonesia  
1.    Hambatan perdagangan minyak sawit Indonesia di dunia :
a.    UNI EROPA (Non-tariff barrier) : Terkait dengan EU Directive on promotion of Renewable Energy Sources- EU RED
b.    AMERIKA SERIKAT(Non-tariff barrier) : Batasan pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) dari biodiesel yang dibuat dari minyak sawit
c.    AUSTRALIA (Non-tariff barrier) : Terkait dengan kebijakan Food Labelling untuk mengganti/ amendement dari Food Standard Australia dan New Zealand
d.    INDIA (Tariff barrier)
e.    PAKISTAN (Tariff barrier)
2.    Perdagangan minyak wait ke Eropa tahun 2011 total volume ekspor sebesar 2,4 juta ton atau senilai US $ 1,8 Milyar. Lima negara terbesar tujuan ekspor di Eropa adalah Belanda, Itali, Jerman, Spanyol dan Yunani. Hambatan perdagangan minyak sawit di Eropa :
a.    Eropa (EU) mentargetkan penggunanaan bioesel dari campuran minyak nabati untuk mengurangi efek dari gas rumah kaca (GRK).
b.    EU akan menggunakan energi terbarukan sebesar 10 % dimana minyak sawit dapat menjadi salah satu bahan baku untuk energi terbarukan tersebut.
c.    EU mensyaratkan bahwa penggunaan energi terbarukan tersebut harus memenuhi ketentuan dimana dapat mereduksi emisi GRK minimal sebesar 35%.
d.    Hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh KMSI bekerjasama dengan ICRAF menunjukkan bahwa saving emission untuk perkebunan kelapa sawit di lahan mineral sebesar 46,7% s/d 60,9% yang berarti dapat memenuhi ketentuan EU-RED
3.    Perdagangan minyak sawit ke Amerika Serikat tahun 2011 total volume ekspor sebesar 49,4 ribu ton atau senilai US $ 51,7 juta. Hambatan perdagangan minyak sawit di AS :
a.    Environmental Protection Agency (EPA) merupakan lembaga Pemerintah AS yang membuat kebijakan untuk memelihara lingkungan melalui pencegahan pemanasan global disebabkan oleh peningkatan peredaran gas CO2. Salah satu kebijakan Pemerintah Amerika Serikat untuk mengurangi pemanasan global adalah melalui peningkatan penggunaan bio energy termasuk biodiesel yang salah satu bahan bakunya adalah minyak sawit.
b.    Pemerintah Amerika Serikat telah memperhitungkan bahwa kebutuhan biodiesel mereka akan terus meningkat sebanyak 36 Milyar gallon pada tahun 2022. Peningkatan kebutuhan biodiesel tersebut dikhawatirkan akan mendorong pembukaan lahan kelapa sawit secara besar-besaran dan mengakibatkan peningkatan emisi GRK (CO2).
c.    Pada tanggal 27 Januari 2012, EPA melalui Federal Register mengeluarkan hasil analisisnya, bahwa biodiesel dan renewable diesel dari minyak sawit tidak dapat memenuhi batas minimal penurunan emisi GRK sebesar 20%. Berdasarkan perhitungan mereka, biodiesel dan renewable diesel dari minyak sawit hanya menurunkan emisi GRK sebesar 17% dan 11%. Dengan demikian, Indonesia berpotensi kehilangan pasar biodiesel sawit ke AS.
d.    Hasil analisa EPA tersebut diatas dapat dikatakan tidak valid karena menggunakan banyak asumsi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan WTO bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh suatu Pemerintah yang berdampak terhadap akses pasar barang yang diimpor maupun diproduksi lokal harus dapat dibuktikan secara ilmiah (scientifically proven).
e.    Kementerian Pertanian telah mengkoordinir rapat pembahasan hasil analisa tersebut yang dihadiri oleh berbagai stakeholder baik dari instansi Pemerintah maupun swasta bahkan bersama dengan Malaysia dan saat ini sedang mempersiapkan tanggapan atas hal tersebut.
4.    Perdagangan minyak sawit ke Australia Tahun 2010 total volume ekspor sebesar 29,5 ribu ton atau senilai US $ 2,7 juta. Hambatan perdagangan minyak sawit di Australia adalah : Pemerintah Australia mengeluarkan Australia’s Food Standards Amendment (Truth in Labelling-Palm Oil) bill 2010 yang mengusulkan agar minyak sawit di nyatakan dalam label dari setiap produk dimana minyak sawit yang dikandung harus berasal dari sumber yang sustainable. Usulan ini pada tingkat Senat dapat diterima namun alasan pemberian label harus kesehatan (sesuai WTO), hingga usulan ini berubah menjadi kesehatan. Usulan ini sedang dipertimbangkan pada tingkat yang lebih tinggi dan harus didukung dengan bukti yang scientific dan technical evidences.
5.    Eskpor minyak sawit ke India Tahun 2011 total volume ekspor sebesar 3,1 juta ton atau senilai US $ 3,5 Milyar. India merupakan negara pengimpor terbesar minyak sawit Indonesia. Pertumbuhan ekspor Indonesia ke India memiliki kecenderungan naik dari tahun 2006-2011. Hambatan perdagangan minyak sawit ke India adalah India akan mengenakan Green Tax
6.    Langkah penyelesaian dan antisipasi yang dilakukan adalah :
a.    Melakukan kegiatan advokasi secara sendiri-sendiri maupun bersama dengan Malaysia. Hal ini dilakukan dalam rangka meluruskan informasi atas persepsi dunia yang salah terhadap minyak sawit Indonesia. Beberapa langkah yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia adalah :
-          Pertemuan Bilateral tingkat Menteri dimana Menteri Pertanian Indonesia mengunjungi negara tujuan ekspor yang mengeluarkan kebijakan yang menghambat minyak sawit Indonesia.
-          Seminar dan Dialog Internasional untuk menanggulangi persepsi yang salah terhadap minyak sawit Indonesia.
-          Menyelenggarakan Konferensi Pers untuk mengembalikan citra minyak sawit Indonesia.
b.  Melakukan upaya peningkatan akses pasar melalui negosiasi dan perundingan penurunan tarif bea masuk produk minyak sawit Indonesia ke negara tujuan ekspor (contoh : India dan Pakistan).

7.    Tantangan ke depan :
a.    Usaha untuk melakukan promosi minyak sawit yang berkelanjutan dan memiliki emisi GRK yang rendah perlu terus dikampanyekan, disamping itu perbaikan dan usaha mitigasi GRK harus terus dilakukan a.l penerapan ISPO dan menghilangkan sumber sumber yang menghasilkan GRK
b.    Selain itu upaya pendekatan dan negosiasi terus dijalankan. Namun demikian apabila langkah ini masih belum berhasil, Pemerintah Indonesia akan mempertanyakan pada forum tertentu di WTO.

D.   Penilaian Usaha Perkebunan  
1.    Dasar pelaksanan penilaian usaha perkebunan adalah Permentan Nomor 07 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
2.    Tujuan penilaian kebun adalah untuk mengetahui kinerja perusahaan perkebunan, kepatuhan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku, memenuhi baku teknis, dan kewajiban perusahaan dalam penyusunan program serta kebijakan perusahaan., dan salah satu syarat mendapatkan sertifikat ISPO. Hanya perusahaan yang mendapatkan sertifikat Penilaian Usaha Perkebunan dengan kategori kebun kelas I, kelas II dan kelas III yang dapat mengusulkan untuk dapat sertifikat ISPO.
3.    Aspek penilaian kebun yang dalam tahap pembangunan dan operasional adalah sebagai berikut
a)    aspek legalitas
b)    manajemen
c)    penyelesaian hak atas tanah
d)    realisasi pembangunan kebun/unit pengolahan
e)    kepemilikan sarana dan prasarana system pencegahan dan pengendalian kebakaran
f)     kepemilikan sarana dan prasarana system pencegahan dan pengendalian organisma pengganggu tanaman
g)    Aspek operasional Kebun
h)    Pengolahan hasil
i)      penerapan AMDAL/UKL dan UPL
j)      Penumbuhan dan pemberdayaan masyarakat/koperasi setempat
k)    Pelaporan
4.    Penetapan hasil penilaian usaha perkebunan :
a.    Hasil penilaian Tim (Kab/Kota) disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan DirjenBun paling lambat dua minggu setelah selesai penilaian.
b.    Hasil penilaian Tim (Provinsi) disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Dirjen Perkebunan paling lambat dua minggu setalah penilaian.
c.    Hasil penilaian Tim (Pusat) disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada Dirjen Perkebunan dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Gubernur paling lambat dua minggu setalah penilaian.
d.    Hasil penilaian perkebunan :
-          Tahap pembangunan ditetapkan dalam kelas A, B, C, D dan E.
-          Tahap operasional ditetapkan dalam kelas I, II, III, IV dan V.
e.    Penetapan kelas dilakukan oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan berdasarkan hasil Tim Penilai paling lambat dua bulan setelah diterimanya hasil penilaian.
f.     Apabila dalam waktu dua bulan penetapan kelas kebun belum dilakukan, usaha perkebunan dianggap kelas A dan/atau kelas I.
g.    Penetapan kelas usaha dan saran tindak lanjut oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan disampaikan kepada perusahaan dengan ditembuskan kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan.
h.    Saran tindak lanjut untuk kelas D dan E (tahap pembangunan) dan/atau kelas IV dan V (tahap opersional) wajib segera dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan.
i.      Apabila saran tindak lanjut kelas D dan E atau IV dan V tidak dilaksanakan maka
-          Kelas D diberi peringatan tiga kali dengan selang waktu empat bulan.
-          Kelas E diberi peringatan satu kali dengan selang waktu empat bulan.
-          Kelas IV diberi peringatan tiga kali dengan selang waktu empat bulan.
-          Kelas V diber peringatan satu kali dengan selang waktu empat bulan.
5.    Sanksi administrasi
a.    Perusahaan yang tidak bersedia dinilai dinyatakan kelas E atau V
b.    Perusahaan kelas D dan E atau IV dan V dalam jangka waktu peringatan belum dilaksanakan saran tindak lanjut, izin usaha perkebunannya dicabut
6.    Sesuai dengan Permentan No. 07/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan, setiap 3 tahun sekali kebun dinilai untuk mendapatkan kelas kebun (aspek legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan). Hasil penilaian tersebut berupa penentuan kelas kebun, yaitu kebun kelas I (baik sekali), kelas II (baik), kelas III (sedang), kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sekali). Untuk kebun kelas I, II, dan III dapat mengajukan permohonan untuk dilakukan audit agar dapat diterbitkan sertifikat ISPO.
7.    Yang perlu disiapkan oleh perusahaan perkebunan terkait penilaian usaha perkebunan adalah :
o   Menyiapkan data dan informasi secara detail;
o   Menunjuk petugas yang berkompeten yang akan memberikan penjelasan kepada petugas penilai;
o   Melakukan koordinasi dengan petugas dinas yang membidangi perkebunan kabupaten/kota/provinsi.

E.    Penjelasan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011  
1.    ISPO resmi dicanangkan untuk diterapkan di perkebunan sawit Indonesia pada tanggal 30 Maret 2011 dalam acara Semarak 100 Tahun Sawit di Tiara Convention Center, Medan.
2.    Dasar hukum ISPO adalah Permentan Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO).
3.    ISPO secara resmi berlaku mulai Maret 2012 dan perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling lambat 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan penilaian usaha perkebunan.
4.    Tujuan ISPO adalah memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia, memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global; mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup.
5.    ISPO didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ini merupakan mandatory atau kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia.
6.    ISPO memiliki 7 prinsip, 41 kriteria dan 126 indikator. Tidak ada indikator mayor dan minor, karena seluruh indikator merupakan hal hal yang diminta oleh peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, sehingga bersifat wajib dipenuhi.
7.    Tujuh prinsip ISPO meliputi :
a)    Sistem perizinan dan manajemen kebun
b)    Penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit
c)    Pengelolaan dan pemantauan lingkungan
d)    Tanggung jawab terhadap pekerja
e)    Tanggung jawab sosial dan komunitas
f)     Pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat
g)    Peningkatan usaha secara berkelanjutan
8.    Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan
a)    Memiliki Perizinan dan Sertifikat Tanah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b)    Membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan (Permentan No 26/Permentan/OT.140/2/2007 tanggal 28 Pebruari 2007).
c)    Sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah Provinsi (RUTWP)/Rencana Umum Tataruang Wilayah Kab/Kota (RUTWK)
d)    Apabila terdapat tumpang tindih dengan usaha pertambangan harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
e)    Lahan perkebunan yang digunakan bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani disekitarnya.
f)     Mempunyai status badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g)    Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang untuk memproduksi minyak sawit lestari.
h)    Rencana dan realisasi pembangunan perkebunan dan pabrik.
i)      Pemberian informasi kepada instansi terkait/pemangku kepentingan sesuai ketentuan yang berlaku terkecuali yang patut dirahasiakan.
9.    Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit
a)    Penerapan pedoman teknis budidaya terkait Pembukaan lahan, Konservasi terhadap sumber dan kualitas air (konservasi kualitas air buangan dan pengunaan air efisien), Perbenihan, Penanaman pada lahan mineral lahan gambut sesuai ketentuan yang berlaku (moratorium Inpres No.10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut), Pemeliharaan tanaman, Pengendalian OPT (Penerapan PHT, Early Warning System/EWS) dan Pemanenan.
b)    Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan: pengangkutan buah, penerimaan TBS di pabrik, pengolahan TBS (penerapan GAP dan GMP), pengelolaan limbah dan limbah B3, gangguan dari sumber yang tidak bergerak dan pemanfaatan limbah.
10.  Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
a)    Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL, UKL dan UPL
b)    Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
c)    Pelestarian biodiversity
d)    Identifikasi dan perlindungan kawasan/suaka alam yang mempunyai nilai konservasi tinggi
e)    Mengusahakan pengurangan mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan menghindari penyebabnya
f)     Konservasi kawasan yang potensial akan bererosi tinggi dan kawasan pinggiran sungai
11.  Tanggung jawab pada pekerja
a)    Penerapan sistem manajemen keselamatan kerja (SMK3)
b)    Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja/buruh
c)    Tidak adanya perlakuan yang berbeda sesuai ras, suku, agama, dan gender
d)    Perlunya asuransi keselamatan kerja dan pembentukan serikat pekerja
e)    Sistem penggajian sesuai ketentuan yang berlaku yaitu sesuai atau lebih tinggi UMR setempat
f)     Tersedianya sarana perumahan, pendidikan, klinik, tempat ibadah dan sarana olah raga
12.  Tanggung jawab sosial dan komunitas
a)    Memiliki tanggung sosial dengan masyarakat sekitar
b)    Ikut meningkatkan kesejahteraan
c)    Mendorong pembentukan koperasi pekerja
d)    Memiliki program untuk kesejahteraan masyarakat dan kearifan lokal
e)    Memberdayakan penduduk asli
13.  Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat
a)    Memprioritaskan untuk memberi peluang pembelian dan pengadaan barang jasa kepada masyarakat disekitar kebun
b)    Peningkatan usaha secara berkelanjutan
c)    Perbaikan usaha dilakukan secara terus menerus, untuk menjamin lestarinya usaha tersebut
14.  Peningkatan usaha secara berkelanjutan meliputi
a)    meliputi pengelola perkebunan dan pabrik/mill harus terus menerus meningkatkan kinerja (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi minyak sawit berkelanjutan.
b)    Tersedianya rekaman hasil penerapan perbaikan/peningkatan yang dilakukan meliputi : Keputusan dari tinjauan manajemen, Penerapan teknologi baru dan Pelaksanaan tindakan korektif maupun prenventif
15.  Perusahaan Perkebunan Kelapa sawit kelas I, II atau kelas III apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 belum mengajukan permohonan untuk mendapat sertifikasi ISPO, akan dikenakan sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV.
16.  Perusahaan perkebunan yang telah memenuhi persyaratan ISPO akan diberi sertifikat ISPO yang berlaku selama 5 tahun dan diumumkan kepada publik.

F.    Pengenalan Persyaratan ISPO  
1.    ISPO adalah Indonesian Sustainable Certification System yag diharapkan dapat :
o   Meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit Indonesia untuk memperbaiki lingkungan
o   Meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia diluar negeri
o   Mendukung program pengurangan gas rumah kaca, juga yang menjadi persyaratan utama negara pembeli bagi palm oil biodiesel

2.    Ada dua tahap penilaian didalam sertifikasi ISPO yaitu :
a.    Peran Pemerintah : Melakukan penilaian usaha perkebunan dan menentukan kelas kebun, kelas 1,2, dan 3 dapat mengajukan untuk disertifikasi
b.    Lembaga independent: dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh KAN atau punya kerja sama dgn KAN, perwakilan asing auditor harus memiliki izin kerja
3.    ISPO terdiri dari 7 Prinsip, 41 Kriteria dan 126 Indokator.
4.    ISPO dibuat berdasarkan perundang undangan yang berlaku (disarikan dari lebih dari 116) dari Kementerian Pertanian, Kementrian Lingkungan Hidup , Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional
5.    ISPO tidak akan memberatkan pengusaha karena peraturan tersebut seharusnya sudah dipenuhi
6.    Ketentuan ISPO memiliki legal frame yang jelas, sebagai ketentuan Pemerintah ISPO akan di notifikasikan ke WTO agar diakui seluruh anggota WTO
7.    Perkembangan terbaru : Negara pembeli terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat mengutamakan pengurangan gas rumah kaca (GRK)untuk energi terbarukan, kriteria sustainability ditekan kan bagi pengurangan gas rumah kaca bila dibanding dengan minyak bumi. Di Eropa dan Australia kembali menerapkan kebijakan bahwa saturated acid di minyak sawit mengakibatkan penyakit jantung
8.    Hal-hal penting dalam perhitungan Gas Rumah Kaca dalam ISPO adalah : Perubahan pengunaan lahan (Direct Land Use change = LUC), Perubahan pengunaan lahan tidak Langsung (Indirect Land Use Change =ILUC), Ditentukan dengan menggunakan model (dimasukkan para meter yang terkait , dihitung GRK dengan menggunakan kurva), Penggunaan tanah gambut ; Karbon tersimpan diatas , dibawah tanah dan penggunaan pupuk, pestisida ; Waste/POME; Penggunaan listrik , transpor kebun dan antar negara, pengaruh co – product , dll
9.    Auditor ISPO : Auditor mencatat ketentuan yang tidak sinkron dan tumpang tindih untuk dipelajari untuk diusulkan perbaikannya. Selisih pendapat mengenai ISPO P&C harus dilaporkan kepada Sekretariat yang melakukan kompilasi dan mempelajari dan melaporkan kepada ISPO. Hanya auditor yang telah dilatih ISPO yang dapat melakukan audit.

G.   Sistem Sertifikasi ISPO  
  1. Perusahaan perkebunana kelapa sawit yang telah mendapat penilaian kelas I, II atau III, mengajukan permohonan sertifikasi ISPO kepada Lembaga Sertifikasi yang telah mendapat pengakuan dari Komisi ISPO
  2. Penilaian kesesuaian (Audit) ISPO :
a)    kebun kelapa sawit (pemasok)
1.milik sendiri
2.kebun plasma (under supervisor)
3.kebun swadaya (mempunyai kontrak)
b)    pabrik kelapa sawit (pks)
c)    kebun yang telah mendapatkan penilaian kelas I, kelas II atau kelas III sesuai Permentan no. 07 tahun 2009 tentang penilaian usaha perkebunan.
d)    telah menerapkan sistem manajemen mutu dan manajemen lingkungan
e)    mempunyai internal auditor yang telah mengikuti pelatihan penerapan praktis ketentuan ispo dan cara sertifikasi yang diselenggarakan oleh pelatihan yang ditunjuk oleh komisi ispo
  1. Audit ISPO mengacu pada Panduan audit sistem manajemen mutu dan atau lingkungan sni 19-19011-2005 (iso 19011-2002, guidelines for quality and/or enviromental management system auditing). ISPO berlaku mandatory, temuan non comformances tidak dapat ditolerir sampai dapat dibuktikan bahwa perbaikan telah dilakukan oleh perusahaan perkebunan dalam batas waktu 3 (tiga) bulan. Jika dalam waktu tersebut setelah audit, non conformances tidak dapat diperbaiki, maka audit ulang lengkap wajib dilakukan.
  2. Temuan berupa penyimpangan legal yang mempunyai sanksi pidana/ perdata seperti sisa pembakaran, tidak adanya IUP, HGB dan perijinan lainnya wajib dilaporkan oleh auditor kepada Komisi ISPO berupa catatan khusus. Tim akan melaporkan penyimpangan tersebut pada Kementerian terkait untuk diambil tindakan sesuai ketentuan berlaku.
  3. Lembaga Sertifikasi akan melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja. Kalau sudah lengkap akan ditindak lanjuti dengan penilaian lapangan (audit) untuk menyakinkan bahwa perusahaan perkebunan yang bersangkutan telah menerapkan dan memenuhi seluruh persyaratan ISPO.
  4. Hasil verifikasi dan audit lapangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah verifikasi lapang sudah harus disampaikan ke Komisi ISPO oleh lembaga sertifikasi untuk mendapatkan pengakuan.
  5. Sekertariat Komisi ISPO akan memeriksa kelengkapan dokumen permohonan selambatlambatnya 7 hari dari tanggal diterima surat. Selanjutnya dokumen akan disampaikan ke Tim Peniali ISPO.
  6. Tim Penilai ISPO melakukan verifikasi terhadap seluruh dokumen yang disampikan lembaga sertifikasi berkaitan dengan persyaratan ISPO, selambat-lambatnya satu bulan sudah diputuskan diakui atau ditolak.
  7. Perusahaan yang dinilai memenuhi syarat, selanjutnya oleh Tim Penilai akan disampaikan ke Komisi ISPO untuk diberi pengakuan (approval),dan menyampaikan kembali dokumen pengakuan tersebut ke lembaga sertifikasi yang mengusulkan.
  8. Lembaga sertifikasi pengusul menerbitkan sertifikat ISPO atas nama perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bersangkutan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sesudah mendapat pengakuan dari Komisi ISPO.
  9. Penerbitan Sertifikat ISPO :
a)    Sertifikat ISPO berlaku 5 (lima) tahun, pelaksanaan penilaian ulang/re-sertifikasi dilakukan sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun berakhir. surveilance dilakukan minimal sekali dalam satu tahun selama masa berlakunya sertifikat, survailance pertama terhitung satu tahun sejak dilaksanakan audit terakhir.
b)    holding company yang memiliki beberapa perusahaan perkebunan dapat menerbitkan sertifikat atas nama holding (group) melalui proses sertifikasi mill dan group kebun yang menerapkan sistim manajemen yang sama dan diawasi sepenuhnya oleh manajer holding.

Entri Populer