I. PENDAHULUAN
Dalam persiapan dan perencanaan
seluruh program kerja Perusahaan guna memenuhi kepatuhan terhadap Peraturan
Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Dimana program ISPO ini bertujuan mendorong
usaha perkebunan kelapa sawit memproduksi kelapa sawit berkelanjutan sesuai
peraturan; Melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit agar
berdaya saing di pasar internasional; Mendukung komitmen Indonesia dalam
pelestaraian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup serta Hasil Pertemuan
Copenhagen 2009.,
II. TUJUAN
Tujuan sosialisasi adalah memberikan pemahaman yang memadai
tentang Peraturan Menteri Pertanian Nomor :
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Inonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), kepada seluruh pemangku kepentingan
di lingkungan PT Perkebunan Nusantara I (Persero).
IV. RINGKASAN MATERI
A. Sesuai Dengan Pengarahan Menteri
Pertanian RI
1.
Kelapa
sawit merupakan komoditi ekspor andalan dari sub sektor perkebunan yang
telah berkontribusi secara signifikan terhadap penerimaan devisa negara
khususnya dari sektor non migas. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi
negara produsen sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 16,4 Juta Ton,
dimana 12,1 Juta Ton diekspor dalam bentuk CPO. Pada tahun 2010
total luas areal kelapa sawit telah mencapai 8,1 Juta Ha dengan produksi CPO
mencapai 19,7 Juta Ton dan ekspor sebesar 16,3 Juta Ton dengan nilai ekspor
setara USD13,4 Juta.
2.
Negara tujuan utama ekspor CPO masih diduduki oleh India,
yaitu 5,3 Juta Ton (32,5%) diikuti China 2,2 Juta Ton (13,3%) dan sisanya
adalah Belanda, Italia, Bangladesh dan negara-negara lainnya. Kontribusi minyak
sawit Indonesia dalam memasok minyak sayur ke pasar dunia cukup besar, yaitu
15,1% sedangkan pangsa produksi minyak sawit Indonesia terhadap produksi minyak
dunia sekitar 47,5%. Diperkirakan produksi minyak sawit Indonesia akan terus
meningkat sampai dengan tahun 2020, hingga mencapai sekitar 40 Juta Ton.
3.
Kampanye
Negatif terhadap sawit (isu deforestasi, degradasi hutan, rusaknya hábitat dan
terbunuhnya satwa liar yang dilindungi, meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca
(GRK), dan seterusnya ) dalam
beberapa tahun terakhir sangat marak, tidak hanya dilakukan oleh LSM, tetapi
juga ditingkat Negara dengan menerapkan hambatan nontarif terhadap minyak
sawit. Hal ini terjadi karena adanya kehawatiran minyak nabati yang diproduksi
oleh Negara tersebut kalah bersaing dengan minyak sawit.
4.
Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/EPA)
awal tahun ini menerapkan Notice of Data
Availability (NODA). Dalam Ketentuan tersebut EPA menerapkan standar emisi
CPO untuk Biodisel sebesar 20%. Sedangkan emisi CPO Indonesia dinilai baru 17 %
sehingga belum memenuhi standar emisi negara tersebut. Pemerintah AS memberikan
kesempatan kepada Indonesia sebagai eksportir CPO terbesar dunia untuk
memberikan penjelasan (notifikasi) hingga 28 Maret 2012. Selain AS, Uni Eropa
sudah lebih dulu menerapkan standar emisi untuk CPO sebesar 35 %, sedangkan CPO
Indonesia dinilai baru mencapai 19%.
5.
Saat
ini konsumen terbesar CPO Indonesia adalah India, disusul Tiongkok dan Uni
Eropa, dengan menyerap 60 % ekspor sawit Indonesai. Ekspor minyak sawit ke
Amerika Serikat relative kecil, akan tetapi karena AS Negara yang berpengaruh
besar terhadap perdagangan dunia, sehingga perlu diwaspadai dampak penerapan
non tariff barrier tersebut.
6.
Agar
bisa meningkatkan pasar ditengah kampanye negative, kita harus melakukan
langkah-langkah strategis dalam menjawab tantangan tersebut. Untuk
mengantisipasi hal tersebut Kementerian Pertanian telah menetapkan satu
kebijakan baru di bidang perkelapasawitan dengan menerbitkan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil / ISPO). Peraturan Menteri tersebut bersifat mandatory
(wajib) dan mengatur persyaratan ISPO yang harus diterapkan oleh perusahaan
perkebunan kelapa sawit, sedangkan ISPO untuk pekebunan kelapa sawit rakyat
(Plasma dan Swadaya) akan diatur kemudian.
7.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dapat mengajukan
permohonan sertifikat ISPO harus memenuhi para syarat, yaitu sudah mendapat
Kelas I, Kelas II, dan Kelas III berdasarkan hasil Penilaian Usaha Perkebunan
sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT.140/2/2009
tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Pada tahun ini juga Kementerian
Pertanian akan melaksanakan penilain kelas kebun untuk persyaratan sertifikasi
ISPO.
8.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling
lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usahanya
sesuai dengan ketentuan peraturan ini yang dibuktikan dengan diperolehnya
Sertifikat ISPO.
9.
Sertifikasi ISPO akan dimulai pada awal Maret 2012. Untuk
itu berbagai persiapan telah dilakukan, seperti Penyusunan Petunjuk Penerapan
Prinsip dan Kriteria ISPO, Pelatihan Auditor ISPO, Pembentukan Keanggotaan
Komisi ISPO, Pembentukan Sekretariat Komisi ISPO, Sosialisasi ISPO di 12
Provinsi, dan yang sedang dalam proses, yaitu Penunjukkan Lembaga Sertifikasi,
serta Pertemuan Sosialisasi ISPO yang saat ini sedang kita selenggarakan.
Sosialisasi ISPO juga akan dilaksanakan di 19 provinsi sentra perkebunan kelapa
sawit.
10. Karena
Pelaksanaan sertifikasi ISPO sudah dekat, diharapkan seluruh perusahaan
perkebunan kelapa sawit mempersiapkan segala sesuatu yang diminta oleh P&C
ISPO, agar pelaksaan sertifikasi berjalan dengan lancar dan baik.
B.
Kebijakan di
Bidang Perkelapasawitan
1. Kebijakan umum pengembangan perkebunan
kelapa sawit di dinonesia adalah :
a)
Miningkatkan Produksi, Produktivitas dan Mutu
b)
Meletakkan
Usaha Perkebunan Rakyat Sebagai Prioritas
c)
Meningkatkan
Nilai Tambah & Efisiensi Agribisnis Kelapa Sawit
d)
Penerapan
Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menurut Sistem Indonesia
2.
Sebagai
upaya untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit Nasional Pemerintah
mempunyai visi pembangunan perkebunan kelapa sawit 35:26 pada tahun
2025, artinya
produktivitas ditingkatkan menjadi 35 Ton TBS/Ha/Tahun dan rendemen CPO 26%.
3.
Upaya
Kementerian Pertanian dalam mendukung peningkatan produktivitas kelapa sawit
adalah sebagai berikut :
a.
Program revitalisasi perkebunan;
b.
Mendorong untuk dilakukan peremajaan kebun-kebun yang
sudah berumur 25 tahun dan tidak produktif, khususnya untuk perkebunan rakyat,
dengan menggunakan benih unggul bermutu, yang potensi produksinya lebih tinggi
dan umur panen yang lebih pendek dari tanaman yang diremajakan;
c.
Merintis fasilitasi penggantian benih tidak bersertifikat
dengan benih unggul bermutu bersertifikat;
d.
Memberikan kemudahan akses ke sumber benih, antara lain
mendorong tumbuhnya waralaba benih kelapa sawit;
e.
Mempermudah akses ke sumber pupuk;
f.
Introduksi model-model peremajaan perkebunan rakyat
kelapa sawit, yang diharapkan dapat menekan biaya peremajaan dan ada sumber
pendapatan selama menunggu tanaman belum menghasilkan;
g.
Menyediakan benih unggul bermutu bersertifikat untuk
wilayah-wilayah khusus, yaitu wilayah pasca bencana, wilayah pasca konflik,
perbatasan, wilayah miskin dan tertinggal.
h.
Merintis fasilitasi peningkatan infrastruktur, khususnya jalan kebun;
i.
Melakukan
pemberdayaan petani melalui pelatihan, bimbingan, dan pendampingan
4. Isue Negatif
Pengembangan Kelapa Sawit
:
a.
Minyak kelapa sawit sebagai minyak yang tidak sehat ?
b.
Penyebab
rusaknya lingkungan ?
c.
Penyebab
rusaknya hutan dan terjadinya deforestrasi ?
d.
Menyerap air sangat tinggi :
e.
penyebab kekeringan vs banjir ?
f.
Terpinggirkannya indegeneous people ?
g.
Menurunnya/matinya satwa yang dilindungi ?
h.
Menyebabkan pemanasan global dan terjadinya perubahan
iklim ?
i.
CO2 Emission ?
j.
Menyusul
tudingan berikutnya secara sistematis ?
5. Permasalahan dan Tantangan
a.
Tuduhan
: Deforestasi, degradasi hutan, merusak habitat dan membunuh satwa liar yang
dilindungi, dan seterusnya.
b.
Meningkatnya
emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
c.
Indonesia
dituduh sebagi penyumbang GRK terbesar ke tiga.
d.
Komitmen
Unilateral dari Indonesia untuk mengurangi emisi GRK 26% pada tahun 2020
(Copenhagen, Desember 2009).
e.
Moratorium
: Hutan primer dan Lahan gambut
f.
Penerapan
Standar Sertifikasi ISPO.
6.
Untuk
menjawab permasalah dan tantangan terebut maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan sebagai berikut :
a.
Memberlakukan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 Tanggal 28 Februari 2007
tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan
b.
Memberlakukan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011
tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil/ISPO).
c.
Kebun kelapa sawit yang sudah mendapat Kelas I, Kelas II,
dan Kelas III dapat langsung mengajukan permohonan Sertifikasi ISPO.
d.
Kebun kelapa sawit Kelas I, Kelas II, dan Kelas III harus
menerapkan ISPO paling lambat 31 Desember 2014.
e.
Penerapan
ISPO bersifat mandatory
(harus/wajib) karena ISPO berisi tentang semua ketentuan terkait yang berlaku
di Indonesia
7. RSPO VS ISPO
-
RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) :
a.
Merupakan
standar yang disusun oleh asosiasi nirlaba pemangku kepentingan terkait kelapa
sawit atas desakan konsumen
Uni Eropa
b.
Di luar Uni
Eropa, belum ada tuntutan
konsumen untuk menerapkan sustainability seperti RSPO.
c.
RSPO bersifat voluntarily (sukarela), sehingga kurang kuat penegakannya (enforcement), dan tidak berbasis
peraturan pemerintah
d.
Tidak
ada prasyarat bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit
e.
Selama tahun 2004-2011 baru 79 perusahaan kelapa sawit
menjadi anggota RSPO dan kurang lebih 13 yang
telah memperoleh CSPO
-
ISPO (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL) :
a.
Peraturan
Menteri Pertanian No.19/Permentan/ OT.140/3/2011
tanggal 29 Maret 2011.
b.
Diterbitkan
dalam rangka pemenuhan sustainability sebagai amanah UUD 1945.
c.
ISPO
adalah mandatory (wajib bagi seluruh perusahaan kelapa sawit di
Indonesia)
d.
Penegakannya
kuat (enforcement) , karena didasarkan atas peraturan dan ketentuan
Pemerintah
e.
Seluruh
perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia wajib menaati ketentuan ISPO
mulai dari hulu (kebun) hingga hilir (pengolahan hasil).
f.
Ada
prasyarat kebun (Kelas I, Kelas II, dan Kelas III dapat mengajukan permohonan
sertifikasi ISPO)
g.
Penerapan
ISPO akan dimulai Maret 2012
h.
Paling
lambat tanggal 31 Desember 2014, seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit
sudah menerapkan persyaratan ISPO
i.
Perusahaan
perkebunan kelapa sawit masih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan
persiapan dalam rangka memenuhi persyaratan ISPO (7 Prinsip dan Kriteria)
j.
Ada
sanksi yang tegas jika pelaku usaha melakukan pelanggaran
k.
Persyaratan
ISPO untuk kebun Plasma dan Swadaya dibuat tersendiri (disesuaikan)
C.
Hambatan
Perdagangan Minyak Sawit Indonesia
1.
Hambatan
perdagangan minyak sawit Indonesia di dunia :
a.
UNI
EROPA (Non-tariff barrier) : Terkait dengan EU Directive on promotion of
Renewable Energy Sources- EU RED
b.
AMERIKA
SERIKAT(Non-tariff barrier) : Batasan pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) dari
biodiesel yang dibuat dari minyak sawit
c.
AUSTRALIA
(Non-tariff barrier) : Terkait dengan kebijakan Food Labelling untuk
mengganti/ amendement dari Food Standard Australia dan New Zealand
d.
INDIA
(Tariff barrier)
e.
PAKISTAN
(Tariff barrier)
2.
Perdagangan
minyak wait ke Eropa tahun 2011 total volume ekspor sebesar 2,4 juta ton atau
senilai US $ 1,8 Milyar. Lima negara terbesar tujuan ekspor di Eropa adalah
Belanda, Itali, Jerman, Spanyol dan Yunani. Hambatan perdagangan minyak sawit
di Eropa :
a.
Eropa
(EU) mentargetkan penggunanaan bioesel dari campuran minyak nabati untuk
mengurangi efek dari gas rumah kaca (GRK).
b.
EU
akan menggunakan energi terbarukan sebesar 10 % dimana minyak sawit dapat
menjadi salah satu bahan baku untuk energi terbarukan tersebut.
c.
EU
mensyaratkan bahwa penggunaan energi terbarukan tersebut harus memenuhi
ketentuan dimana dapat mereduksi emisi GRK minimal sebesar 35%.
d.
Hasil
penelitian yang telah dilaksanakan oleh KMSI bekerjasama dengan ICRAF
menunjukkan bahwa saving emission untuk perkebunan kelapa sawit di lahan
mineral sebesar 46,7% s/d 60,9% yang berarti dapat memenuhi ketentuan EU-RED
3. Perdagangan minyak sawit ke Amerika
Serikat tahun 2011 total volume ekspor sebesar 49,4 ribu ton atau
senilai US $ 51,7 juta.
Hambatan perdagangan minyak sawit di AS :
a.
Environmental
Protection Agency
(EPA) merupakan lembaga Pemerintah
AS yang membuat kebijakan
untuk memelihara lingkungan melalui pencegahan pemanasan global disebabkan oleh
peningkatan peredaran gas CO2.
Salah satu kebijakan Pemerintah Amerika Serikat untuk mengurangi pemanasan
global adalah melalui peningkatan penggunaan bio energy termasuk biodiesel yang
salah satu bahan bakunya adalah minyak sawit.
b.
Pemerintah
Amerika Serikat telah memperhitungkan bahwa kebutuhan biodiesel mereka akan
terus meningkat sebanyak 36 Milyar gallon pada tahun 2022. Peningkatan
kebutuhan biodiesel tersebut dikhawatirkan akan mendorong pembukaan lahan
kelapa sawit secara besar-besaran dan mengakibatkan peningkatan emisi GRK
(CO2).
c.
Pada
tanggal 27 Januari 2012, EPA melalui Federal Register mengeluarkan hasil
analisisnya, bahwa biodiesel dan renewable diesel dari minyak
sawit tidak dapat memenuhi batas minimal penurunan emisi GRK sebesar 20%.
Berdasarkan perhitungan mereka, biodiesel dan renewable diesel dari
minyak sawit hanya menurunkan emisi GRK sebesar 17% dan 11%. Dengan demikian,
Indonesia berpotensi kehilangan pasar biodiesel sawit ke AS.
d.
Hasil
analisa EPA tersebut diatas dapat dikatakan tidak valid karena menggunakan
banyak asumsi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan WTO bahwa regulasi yang
dikeluarkan oleh suatu Pemerintah yang berdampak terhadap akses pasar barang
yang diimpor maupun diproduksi lokal harus dapat dibuktikan secara ilmiah (scientifically
proven).
e.
Kementerian
Pertanian telah mengkoordinir rapat pembahasan hasil analisa tersebut yang
dihadiri oleh berbagai stakeholder baik dari instansi Pemerintah maupun swasta
bahkan bersama dengan Malaysia dan saat ini sedang mempersiapkan tanggapan atas
hal tersebut.
4.
Perdagangan
minyak sawit ke Australia Tahun 2010 total volume ekspor sebesar 29,5 ribu ton atau
senilai US $ 2,7 juta.
Hambatan perdagangan minyak sawit di Australia adalah : Pemerintah Australia mengeluarkan
Australia’s Food Standards Amendment (Truth in Labelling-Palm Oil) bill 2010
yang mengusulkan agar minyak sawit di nyatakan dalam label dari setiap produk
dimana minyak sawit yang dikandung harus berasal dari sumber yang sustainable.
Usulan ini pada tingkat Senat dapat diterima namun alasan pemberian label harus
kesehatan (sesuai WTO), hingga usulan ini berubah menjadi kesehatan. Usulan ini
sedang dipertimbangkan pada tingkat yang lebih tinggi dan harus didukung dengan
bukti yang scientific dan technical evidences.
5.
Eskpor minyak sawit ke India Tahun 2011
total volume ekspor sebesar 3,1 juta ton atau senilai US $ 3,5 Milyar. India
merupakan negara pengimpor terbesar minyak sawit Indonesia. Pertumbuhan ekspor
Indonesia ke India memiliki kecenderungan naik dari tahun 2006-2011. Hambatan
perdagangan minyak sawit ke India adalah India akan mengenakan Green Tax
6.
Langkah
penyelesaian dan antisipasi yang dilakukan adalah :
a.
Melakukan
kegiatan advokasi secara sendiri-sendiri maupun bersama dengan Malaysia. Hal
ini dilakukan dalam rangka meluruskan informasi atas persepsi dunia yang salah
terhadap minyak sawit Indonesia. Beberapa langkah yang telah dilakukan
Pemerintah Indonesia adalah :
-
Pertemuan
Bilateral tingkat Menteri dimana Menteri Pertanian Indonesia mengunjungi negara
tujuan ekspor yang mengeluarkan kebijakan yang menghambat minyak sawit
Indonesia.
-
Seminar
dan Dialog Internasional untuk menanggulangi persepsi yang salah terhadap
minyak sawit Indonesia.
-
Menyelenggarakan
Konferensi Pers untuk mengembalikan citra minyak sawit Indonesia.
b. Melakukan upaya peningkatan akses
pasar melalui negosiasi dan perundingan penurunan tarif bea masuk produk minyak
sawit Indonesia ke negara tujuan ekspor (contoh : India dan Pakistan).
7. Tantangan ke depan :
a.
Usaha
untuk melakukan promosi minyak sawit yang berkelanjutan dan memiliki emisi GRK
yang rendah perlu terus dikampanyekan, disamping itu perbaikan dan usaha
mitigasi GRK harus terus dilakukan a.l penerapan ISPO dan menghilangkan sumber
sumber yang menghasilkan GRK
b.
Selain
itu upaya pendekatan dan negosiasi terus dijalankan. Namun demikian apabila
langkah ini masih belum berhasil, Pemerintah Indonesia akan mempertanyakan pada
forum tertentu di WTO.
D.
Penilaian
Usaha Perkebunan
1.
Dasar
pelaksanan penilaian usaha perkebunan adalah Permentan Nomor
07 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
2.
Tujuan
penilaian kebun adalah untuk mengetahui kinerja perusahaan perkebunan, kepatuhan
terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku, memenuhi baku teknis, dan
kewajiban perusahaan dalam penyusunan program serta kebijakan perusahaan., dan salah satu syarat mendapatkan
sertifikat ISPO. Hanya perusahaan yang mendapatkan sertifikat Penilaian
Usaha Perkebunan dengan kategori kebun kelas I, kelas II dan kelas III yang dapat mengusulkan untuk dapat
sertifikat ISPO.
3.
Aspek
penilaian kebun yang dalam tahap pembangunan dan operasional adalah sebagai
berikut
a)
aspek
legalitas
b)
manajemen
c)
penyelesaian
hak atas tanah
d)
realisasi
pembangunan kebun/unit pengolahan
e)
kepemilikan
sarana dan prasarana system pencegahan dan pengendalian kebakaran
f)
kepemilikan
sarana dan prasarana system pencegahan dan pengendalian organisma pengganggu
tanaman
g)
Aspek
operasional Kebun
h)
Pengolahan
hasil
i)
penerapan
AMDAL/UKL dan UPL
j)
Penumbuhan
dan pemberdayaan masyarakat/koperasi setempat
k)
Pelaporan
4. Penetapan hasil penilaian usaha
perkebunan :
a.
Hasil
penilaian Tim (Kab/Kota) disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada
Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan DirjenBun paling lambat dua
minggu setelah selesai penilaian.
b.
Hasil
penilaian Tim (Provinsi) disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada
Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Dirjen Perkebunan paling
lambat dua minggu setalah penilaian.
c.
Hasil
penilaian Tim (Pusat) disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada Dirjen
Perkebunan dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Gubernur paling lambat
dua minggu setalah penilaian.
d.
Hasil
penilaian perkebunan :
-
Tahap
pembangunan ditetapkan dalam kelas A, B, C, D dan E.
-
Tahap
operasional ditetapkan dalam kelas I, II, III, IV dan V.
e.
Penetapan
kelas dilakukan oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan
berdasarkan hasil Tim Penilai paling lambat dua bulan setelah diterimanya hasil
penilaian.
f.
Apabila
dalam waktu dua bulan penetapan kelas kebun belum dilakukan, usaha perkebunan
dianggap kelas A dan/atau kelas I.
g.
Penetapan
kelas usaha dan saran tindak lanjut oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen
Perkebunan disampaikan kepada perusahaan dengan ditembuskan kepada
Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan.
h.
Saran
tindak lanjut untuk kelas D dan E (tahap pembangunan) dan/atau kelas IV dan V
(tahap opersional) wajib segera dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan.
i.
Apabila
saran tindak lanjut kelas D dan E atau IV dan V tidak dilaksanakan maka
-
Kelas
D diberi peringatan tiga kali dengan selang waktu empat bulan.
-
Kelas
E diberi peringatan satu kali dengan selang waktu empat bulan.
-
Kelas
IV diberi peringatan tiga kali dengan selang waktu empat bulan.
-
Kelas
V diber peringatan satu kali dengan selang waktu empat bulan.
5. Sanksi administrasi
a.
Perusahaan
yang tidak bersedia dinilai dinyatakan kelas E atau V
b.
Perusahaan
kelas D dan E atau IV dan V dalam jangka waktu peringatan belum dilaksanakan
saran tindak lanjut, izin usaha perkebunannya dicabut
6.
Sesuai dengan Permentan No. 07/2009 tentang Pedoman
Penilaian Usaha Perkebunan, setiap 3 tahun sekali kebun dinilai untuk
mendapatkan kelas kebun (aspek legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil,
sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan). Hasil penilaian tersebut
berupa penentuan kelas kebun, yaitu kebun kelas I (baik sekali), kelas II
(baik), kelas III (sedang), kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sekali).
Untuk kebun kelas I, II, dan III dapat mengajukan permohonan untuk dilakukan
audit agar dapat diterbitkan sertifikat ISPO.
7.
Yang
perlu disiapkan oleh perusahaan perkebunan terkait penilaian usaha perkebunan
adalah :
o
Menyiapkan data dan informasi secara detail;
o
Menunjuk petugas yang berkompeten yang akan memberikan
penjelasan kepada petugas penilai;
o
Melakukan koordinasi dengan petugas dinas yang membidangi
perkebunan kabupaten/kota/provinsi.
E.
Penjelasan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011
1.
ISPO resmi dicanangkan untuk diterapkan di perkebunan
sawit Indonesia pada tanggal 30 Maret 2011 dalam acara Semarak 100 Tahun Sawit di Tiara Convention
Center, Medan.
2.
Dasar
hukum ISPO adalah Permentan Nomor
19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang Pedoman Perkebunan
Kelapa sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO).
3.
ISPO secara resmi berlaku mulai Maret 2012 dan perusahaan
perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling lambat 31 Desember 2014 harus sudah
melaksanakan penilaian usaha perkebunan.
4.
Tujuan ISPO adalah memposisikan
pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi
Indonesia, memantapkan
sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit
berkelanjutan sesuai
tuntutan masyarakat global; mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya
Alam dan fungsi lingkungan hidup.
5.
ISPO
didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka
ketentuan ini merupakan mandatory atau kewajiban yang harus dilaksanakan
bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia.
6.
ISPO
memiliki 7 prinsip, 41 kriteria dan 126 indikator. Tidak ada indikator mayor
dan minor, karena seluruh indikator merupakan hal hal yang diminta oleh
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, sehingga bersifat wajib
dipenuhi.
7.
Tujuh
prinsip ISPO meliputi :
a)
Sistem
perizinan dan manajemen kebun
b)
Penerapan
pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit
c)
Pengelolaan
dan pemantauan lingkungan
d)
Tanggung
jawab terhadap pekerja
e)
Tanggung
jawab sosial dan komunitas
f)
Pemberdayaan
kegiatan ekonomi masyarakat
g)
Peningkatan
usaha secara berkelanjutan
8. Sistem Perizinan
dan Manajemen Perkebunan
a)
Memiliki Perizinan dan Sertifikat Tanah sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
b)
Membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah
seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan (Permentan No
26/Permentan/OT.140/2/2007 tanggal 28 Pebruari 2007).
c)
Sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah Provinsi
(RUTWP)/Rencana Umum Tataruang Wilayah Kab/Kota (RUTWK)
d)
Apabila terdapat tumpang tindih dengan usaha pertambangan
harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
e)
Lahan perkebunan yang digunakan bebas dari status
sengketa dengan masyarakat/petani disekitarnya.
f)
Mempunyai status badan hukum yang jelas sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
g)
Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang
untuk memproduksi minyak sawit lestari.
h)
Rencana dan realisasi pembangunan perkebunan dan pabrik.
i)
Pemberian informasi kepada instansi terkait/pemangku
kepentingan sesuai ketentuan yang berlaku terkecuali yang patut dirahasiakan.
9. Penerapan
Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit
a)
Penerapan pedoman teknis budidaya terkait Pembukaan lahan, Konservasi
terhadap sumber dan kualitas air (konservasi kualitas air buangan dan pengunaan
air efisien), Perbenihan, Penanaman pada
lahan mineral lahan gambut sesuai ketentuan yang berlaku (moratorium Inpres
No.10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata
kelola hutan alam primer dan lahan gambut),
Pemeliharaan tanaman,
Pengendalian OPT (Penerapan PHT, Early Warning System/EWS) dan Pemanenan.
b)
Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan:
pengangkutan buah, penerimaan TBS di pabrik, pengolahan TBS (penerapan GAP dan
GMP), pengelolaan limbah dan limbah B3, gangguan dari sumber yang tidak
bergerak dan pemanfaatan limbah.
10. Pengelolaan
dan Pemantauan Lingkungan
a)
Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL, UKL
dan UPL
b)
Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
c)
Pelestarian biodiversity
d)
Identifikasi dan perlindungan kawasan/suaka alam yang
mempunyai nilai konservasi tinggi
e)
Mengusahakan pengurangan mitigasi emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) dengan menghindari penyebabnya
f)
Konservasi kawasan yang potensial akan bererosi tinggi
dan kawasan pinggiran sungai
11. Tanggung
jawab pada pekerja
a)
Penerapan sistem manajemen keselamatan kerja (SMK3)
b)
Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja/buruh
c)
Tidak adanya perlakuan yang berbeda sesuai ras, suku,
agama, dan gender
d)
Perlunya asuransi keselamatan kerja dan pembentukan
serikat pekerja
e)
Sistem penggajian sesuai ketentuan yang berlaku yaitu
sesuai atau lebih tinggi UMR setempat
f)
Tersedianya sarana perumahan, pendidikan, klinik, tempat
ibadah dan sarana olah raga
12. Tanggung
jawab sosial dan komunitas
a) Memiliki
tanggung sosial dengan masyarakat sekitar
b) Ikut
meningkatkan kesejahteraan
c) Mendorong
pembentukan koperasi pekerja
d) Memiliki
program untuk kesejahteraan masyarakat dan kearifan lokal
e) Memberdayakan
penduduk asli
13. Pemberdayaan
Kegiatan Ekonomi Masyarakat
a)
Memprioritaskan untuk memberi peluang pembelian dan
pengadaan barang jasa kepada masyarakat disekitar kebun
b)
Peningkatan usaha secara berkelanjutan
c)
Perbaikan usaha dilakukan secara terus menerus, untuk
menjamin lestarinya usaha tersebut
14. Peningkatan usaha secara berkelanjutan
meliputi
a)
meliputi
pengelola perkebunan dan pabrik/mill harus terus menerus meningkatkan
kinerja (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi minyak
sawit berkelanjutan.
b)
Tersedianya rekaman hasil penerapan perbaikan/peningkatan
yang dilakukan meliputi :
Keputusan dari tinjauan manajemen,
Penerapan teknologi baru
dan Pelaksanaan tindakan korektif maupun prenventif
15. Perusahaan
Perkebunan Kelapa sawit kelas I, II atau kelas III apabila sampai dengan tanggal 31
Desember 2014 belum mengajukan permohonan untuk mendapat sertifikasi ISPO, akan dikenakan sanksi
penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV.
16. Perusahaan
perkebunan yang telah memenuhi persyaratan ISPO akan diberi sertifikat ISPO
yang berlaku selama 5 tahun
dan diumumkan kepada publik.
F.
Pengenalan
Persyaratan ISPO
1. ISPO adalah Indonesian Sustainable
Certification System yag diharapkan dapat :
o
Meningkatkan
kesadaran pengusaha kelapa sawit Indonesia untuk memperbaiki lingkungan
o
Meningkatkan
daya saing minyak sawit Indonesia diluar negeri
o
Mendukung
program pengurangan gas rumah kaca, juga yang menjadi persyaratan utama negara
pembeli bagi palm oil biodiesel
2. Ada dua tahap penilaian didalam
sertifikasi ISPO yaitu :
a.
Peran
Pemerintah : Melakukan penilaian usaha perkebunan dan menentukan kelas kebun,
kelas 1,2, dan 3 dapat mengajukan untuk disertifikasi
b.
Lembaga
independent: dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh KAN atau
punya kerja sama dgn KAN, perwakilan asing auditor harus memiliki izin kerja
3. ISPO terdiri dari 7 Prinsip, 41
Kriteria dan 126 Indokator.
4.
ISPO
dibuat berdasarkan perundang undangan yang berlaku (disarikan dari lebih dari
116) dari Kementerian Pertanian, Kementrian Lingkungan Hidup , Kehutanan dan
Badan Pertanahan Nasional
5.
ISPO
tidak akan memberatkan pengusaha karena peraturan tersebut seharusnya sudah
dipenuhi
6.
Ketentuan
ISPO memiliki legal frame yang jelas, sebagai ketentuan Pemerintah ISPO akan di
notifikasikan ke WTO agar diakui seluruh anggota WTO
7.
Perkembangan
terbaru : Negara pembeli terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat mengutamakan pengurangan
gas rumah kaca (GRK)untuk energi terbarukan, kriteria sustainability ditekan
kan bagi pengurangan gas rumah kaca bila dibanding dengan minyak bumi. Di Eropa
dan Australia kembali menerapkan kebijakan bahwa saturated acid di
minyak sawit mengakibatkan penyakit jantung
8.
Hal-hal
penting dalam perhitungan Gas Rumah Kaca dalam ISPO adalah : Perubahan
pengunaan lahan (Direct Land Use change = LUC), Perubahan pengunaan lahan tidak
Langsung (Indirect Land Use Change =ILUC), Ditentukan dengan menggunakan model
(dimasukkan para meter yang terkait , dihitung GRK dengan menggunakan kurva),
Penggunaan tanah gambut ; Karbon tersimpan diatas , dibawah tanah dan
penggunaan pupuk, pestisida ; Waste/POME; Penggunaan listrik , transpor kebun
dan antar negara, pengaruh co – product , dll
9.
Auditor
ISPO : Auditor mencatat ketentuan yang tidak sinkron dan tumpang tindih untuk
dipelajari untuk diusulkan perbaikannya. Selisih pendapat mengenai ISPO P&C
harus dilaporkan kepada Sekretariat yang melakukan kompilasi dan mempelajari
dan melaporkan kepada ISPO. Hanya auditor yang telah dilatih ISPO yang dapat
melakukan audit.
G.
Sistem
Sertifikasi ISPO
- Perusahaan
perkebunana kelapa sawit yang telah mendapat penilaian kelas I, II atau
III, mengajukan permohonan sertifikasi ISPO kepada Lembaga Sertifikasi
yang telah mendapat pengakuan dari Komisi ISPO
- Penilaian kesesuaian (Audit) ISPO :
a)
kebun
kelapa sawit (pemasok)
1.milik sendiri
2.kebun plasma (under supervisor)
3.kebun swadaya (mempunyai kontrak)
b)
pabrik
kelapa sawit (pks)
c)
kebun
yang telah mendapatkan penilaian kelas I, kelas II atau kelas III sesuai
Permentan no. 07 tahun 2009 tentang penilaian usaha perkebunan.
d)
telah
menerapkan sistem manajemen mutu dan manajemen lingkungan
e)
mempunyai
internal auditor yang telah mengikuti pelatihan penerapan praktis ketentuan
ispo dan cara sertifikasi yang diselenggarakan oleh pelatihan yang ditunjuk
oleh komisi ispo
- Audit
ISPO mengacu pada Panduan audit sistem manajemen mutu dan atau lingkungan
sni 19-19011-2005 (iso 19011-2002, guidelines for quality and/or
enviromental management system auditing). ISPO berlaku mandatory,
temuan non comformances tidak dapat ditolerir sampai dapat dibuktikan
bahwa perbaikan telah dilakukan oleh perusahaan perkebunan dalam batas
waktu 3 (tiga) bulan. Jika dalam waktu tersebut setelah audit, non
conformances tidak dapat diperbaiki, maka audit ulang lengkap wajib
dilakukan.
- Temuan
berupa penyimpangan legal yang mempunyai sanksi pidana/ perdata seperti
sisa pembakaran, tidak adanya IUP, HGB dan perijinan lainnya wajib dilaporkan
oleh auditor kepada Komisi ISPO berupa catatan khusus. Tim akan melaporkan
penyimpangan tersebut pada Kementerian terkait untuk diambil tindakan
sesuai ketentuan berlaku.
- Lembaga
Sertifikasi akan melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja. Kalau sudah lengkap akan ditindak lanjuti
dengan penilaian lapangan (audit) untuk menyakinkan bahwa perusahaan
perkebunan yang bersangkutan telah menerapkan dan memenuhi seluruh
persyaratan ISPO.
- Hasil
verifikasi dan audit lapangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
verifikasi lapang sudah harus disampaikan ke Komisi ISPO oleh lembaga
sertifikasi untuk mendapatkan pengakuan.
- Sekertariat
Komisi ISPO akan memeriksa kelengkapan dokumen permohonan
selambatlambatnya 7 hari dari tanggal diterima surat. Selanjutnya dokumen
akan disampaikan ke Tim Peniali ISPO.
- Tim
Penilai ISPO melakukan verifikasi terhadap seluruh dokumen yang disampikan
lembaga sertifikasi berkaitan dengan persyaratan ISPO, selambat-lambatnya
satu bulan sudah diputuskan diakui atau ditolak.
- Perusahaan
yang dinilai memenuhi syarat, selanjutnya oleh Tim Penilai akan
disampaikan ke Komisi ISPO untuk diberi pengakuan (approval),dan
menyampaikan kembali dokumen pengakuan tersebut ke lembaga sertifikasi
yang mengusulkan.
- Lembaga
sertifikasi pengusul menerbitkan sertifikat ISPO atas nama perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang bersangkutan, selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sesudah mendapat pengakuan dari Komisi ISPO.
- Penerbitan
Sertifikat ISPO :
a)
Sertifikat
ISPO berlaku 5 (lima)
tahun, pelaksanaan penilaian ulang/re-sertifikasi dilakukan sebelum jangka
waktu 5 (lima) tahun berakhir. surveilance
dilakukan minimal sekali dalam satu tahun selama masa berlakunya sertifikat,
survailance pertama terhitung satu tahun sejak dilaksanakan audit terakhir.
b)
holding
company yang memiliki beberapa perusahaan perkebunan dapat menerbitkan
sertifikat atas nama holding (group) melalui proses sertifikasi mill dan group
kebun yang menerapkan sistim manajemen yang sama dan diawasi sepenuhnya oleh
manajer holding.