Kamis, 11 Juni 2015

SENGKETA DAN PERTANAHAN

Dalam ilmu hukum sengketa pertanahan bisa didefinisikan menjadi beberapa pendapat diantaranya mengenai:
1.Keabsahan Suatu Hak
2.Pemberian Hak Atas Tanah
3.Pendaftaran Hak Atas Tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya.

Keabsahan Suatu Hak.
Hal keabsahan merupakan salah satu penyebab yang sangat fundamental mengingat subjek dan objek harus memiliki keterkaitan dengan histori yang menjelaskan kondisinya dari awal sampai dengan kondisi terkini dari hak tersebut. kondisi absah juga menyebabkan beberapa sengketa harus berakhir di pengadilan karena perlu pembuktian dan penekanan kepada para pihak yang bersengketa hal ini menjadi akhir penyelesaian dan terkadang proses pengadilan dinilai tidak objektif dalam pemeriksaan perkara sampai dengan putusannya akibat dari adanya salah satu pihak yang harus kalah.

Kita harus mengakui bahwa sistem tata kelola arsip dan pertanahan kita masih sangat lemah itu dapat dilihat dengan sangat tingginya sengketa pertanahan dan munculnya mafia pertanahan yang terus menciptakan permasalahan sehingga memperoleh hasil dari permasalahan tersebut. penyebab utamanya adalah alas hak yang sangat mudah diperoleh dan alas hak tersebut bersumber dari berbagai pihak, seperti diatas lahan HGU diterbitkan SK HTR oleh instansi terkait sehingga merugikan para pihak yang ada.

Pemberian Hak Atas Tanah.
Dasar pemberian hak harus terlebih dahulu melalui proses pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 dengan memuat data-data fisik yang merupakan keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. juga termasuk data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta seluruh beban yang membebaninya. pendaftaran tanah tersebut dilaksanakan secara sistematik dan melihat kepada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun1961.

Apabila proses pemberian hak dilaksanakan dengan benar dan sesuai ketentuan maka akan menghasilkan hak berkekuatan hukum, namun saat ini banyak sekali hak yang terbit bertentangan dengan ketentuan dan terkesan memenuhi permintaan segelintir pihak saja dan mengorbankan pemegang hak yang lain, hal ini bisa disebabkan aparat yang berbuat salah atau interpensi kepada aparat yang sangat tinggi.

Peralihan Hak Atas Tanah
Pada poin ini akan lebih konsentrasi kepada para pihak yang merasa memiliki hak atas objek tanah tersebut, karena berdasarkan kondisi dilapangan sangat sering ditemui untuk lahan pertanian/perkebunan dilakukan peralihan hak secara berulang oleh satu orang pemilik sehingga menimbulkan permasalahan yang sulit karena proses jual beli secara hukum terkesan sudah benar karena berdasarkan kesepakatan namun objek yang dialihkan yang sudah tidak benar

Hukum dan keberadaan Badan Usaha



Pengertian subjek hukum menurut beberapa pendapat merupakan pendu­kung hak dan kewajiban manusia termasuk juga badan hukum, selanjutnya jika membahas pertanggung jawaban pidana badan hukum, maka akan melihat kepada KUHPidana yang bersumber dari Belanda, yang dalam perjalanannya pada 1886 ditetapkan dalam pidana umum (commune strafrecht), bahwa suatu badan hukum dapat diduga/melakukan tindak pidana sehingga harus tunduk dan mengikuti sangsi sebagaimana diatur dalam KUHPidana. Khusus mengenai dapat di­pidananya perserikatan/badan usaha maka digunakanlah penulisan “korporasi” namun dalam penetapan tersebut tidak membuat pembaharuan secara prinsipil.
Dalam perumusan KUHP dikenal asas societas universitas deliquere non potest (badan-badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan pidana) tetapi dalam pembaharuan yang terjadi pada 1886 terdapat perubahan yaitu pernyataan “Suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (natuurlijke person). Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum (rechtpersoonlijkheid) tidak berlaku pada bi­dang hukum pidana,” sehingga sanksi tindak pidana penyelundupan terhadap badan hukum dikenakan sanksi pidana denda saja. terhadap perseroan, atau perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau ko­perasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud undang-­undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp 1.500.000.000. (satu miliar lima ratus juta ru­piah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam pidana penjara dan denda. (sanksi pidana tunggal, dan sanksi pidana kumulatif).
Di Indonesia sendiri kita melihat aturan yang mengikat beberapa hal badan hukum diantaranya Perseroan Terbatas (PT) yang keberadaan dan proses bisnisnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Peseroan (Persero) dapat dipertangungjawabkan secara pidana sebagaimana diatur dalam Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Per­aturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969
Sementara khusus untuk perorangan yang menjadi wadah penggerak setiap jenis kegiatan usaha/proses bisnis yang dilakukan secara konsisten dan terus menerus untuk tujuan memperoleh keuntungan/profit atau laba dalam wilayah Republik Indonesia maka dikelompokan kedalam perusahaan, misalnya Perusahaan Otobis (PO) dan Perusahaan Dagang (PD) milik swasta perseorangan. Bentuk hukum perusahaan perseorangan belum ada pengaturannya dalam undang-undang, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengusaha, dampak praktiknya dibuat tertulis di­muka notaris, berupa akta pendirian perusahaan perseorangan. Di dalam bukunya Abdulkadir Muhammad menuliskan bentuk-bentuk perusahaan di Indonesia, yaitu firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV) adalah bukan badan hukum; sedangkan Perseroan terbatas (PT) dan koperasi adalah badan usaha milik swasta (BUMS), sedangkan perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perse­roan (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selanjutnya pengelolaan keuangan dan proses bisnis dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keuanggannya tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap harus mempertanggung jawabkan keuangannya kepada negara karena seluruh turunan APBN atau pun pernah berasal dari negara maka tidak akan terpisahkan dari negara, terkecuali untuk pengelolaan BUMN tersebut sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 48/PUU-XI/2013. Namun apabila terjadi kelalaian dalam pengelolaan akan terikat langsung kepada pelanggaran hukum dan merugikan negara disebut juga “K.O.R.U.P.S.I” atau dengan kata lain ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan yang telah disertakan negara pada BUMN tersebut.

Entri Populer