Pengertian subjek hukum
menurut beberapa pendapat merupakan pendukung hak dan kewajiban manusia
termasuk juga badan hukum, selanjutnya jika membahas pertanggung jawaban pidana
badan hukum, maka akan melihat kepada KUHPidana yang bersumber dari Belanda, yang
dalam perjalanannya pada 1886 ditetapkan dalam pidana umum (commune strafrecht), bahwa
suatu badan hukum dapat diduga/melakukan tindak pidana sehingga harus tunduk
dan mengikuti sangsi sebagaimana diatur dalam KUHPidana. Khusus mengenai dapat
dipidananya perserikatan/badan usaha maka digunakanlah penulisan “korporasi”
namun dalam penetapan tersebut tidak membuat pembaharuan secara prinsipil.
Dalam perumusan KUHP dikenal
asas societas universitas
deliquere non potest (badan-badan hukum tidak dapat melakukan
perbuatan pidana) tetapi dalam pembaharuan yang terjadi pada 1886 terdapat
perubahan yaitu pernyataan “Suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh
perorangan (natuurlijke
person). Pemikiran fiksi (fictie)
tentang sifat badan hukum (rechtpersoonlijkheid)
tidak berlaku pada bidang hukum pidana,” sehingga sanksi tindak
pidana penyelundupan terhadap badan hukum dikenakan sanksi pidana denda saja. terhadap
perseroan, atau perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi yang dipidana
dengan pidana sebagaimana dimaksud undang-undang ini, pidana pokok yang
dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp 1.500.000.000. (satu
miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan
pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana
tersebut diancam pidana penjara dan denda. (sanksi pidana tunggal, dan sanksi
pidana kumulatif).
Di Indonesia sendiri kita
melihat aturan yang mengikat beberapa hal badan hukum diantaranya Perseroan
Terbatas (PT) yang keberadaan dan proses bisnisnya dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perusahaan Umum (PERUM) dan
Perusahaan Peseroan (Persero) dapat dipertangungjawabkan secara pidana
sebagaimana diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1969
tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969
Sementara khusus untuk perorangan
yang menjadi wadah penggerak setiap jenis kegiatan usaha/proses bisnis yang
dilakukan secara konsisten dan terus menerus untuk tujuan memperoleh
keuntungan/profit atau laba dalam wilayah Republik Indonesia maka dikelompokan
kedalam perusahaan, misalnya Perusahaan Otobis (PO) dan Perusahaan Dagang (PD)
milik swasta perseorangan. Bentuk hukum perusahaan perseorangan belum ada
pengaturannya dalam undang-undang, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pengusaha, dampak praktiknya dibuat tertulis dimuka notaris, berupa
akta pendirian perusahaan perseorangan. Di dalam bukunya Abdulkadir Muhammad
menuliskan bentuk-bentuk perusahaan di Indonesia, yaitu firma (Fa) dan
persekutuan komanditer (CV) adalah bukan badan hukum; sedangkan Perseroan
terbatas (PT) dan koperasi adalah badan usaha milik swasta (BUMS), sedangkan
perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perseroan (Persero) adalah Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
Selanjutnya pengelolaan keuangan dan
proses bisnis dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keuanggannya tidak
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap harus
mempertanggung jawabkan keuangannya kepada negara karena seluruh turunan APBN
atau pun pernah berasal dari negara maka tidak akan terpisahkan dari negara,
terkecuali untuk pengelolaan BUMN tersebut sebagaimana putusan Mahkamah
Konstitusi RI Nomor 48/PUU-XI/2013. Namun apabila terjadi kelalaian dalam
pengelolaan akan terikat langsung kepada pelanggaran hukum dan merugikan negara
disebut juga “K.O.R.U.P.S.I” atau dengan kata lain ada hubungan sebab akibat
(causal verband) antara pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan yang telah
disertakan negara pada BUMN tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar