Kamis, 11 Juni 2015

Hukum dan keberadaan Badan Usaha



Pengertian subjek hukum menurut beberapa pendapat merupakan pendu­kung hak dan kewajiban manusia termasuk juga badan hukum, selanjutnya jika membahas pertanggung jawaban pidana badan hukum, maka akan melihat kepada KUHPidana yang bersumber dari Belanda, yang dalam perjalanannya pada 1886 ditetapkan dalam pidana umum (commune strafrecht), bahwa suatu badan hukum dapat diduga/melakukan tindak pidana sehingga harus tunduk dan mengikuti sangsi sebagaimana diatur dalam KUHPidana. Khusus mengenai dapat di­pidananya perserikatan/badan usaha maka digunakanlah penulisan “korporasi” namun dalam penetapan tersebut tidak membuat pembaharuan secara prinsipil.
Dalam perumusan KUHP dikenal asas societas universitas deliquere non potest (badan-badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan pidana) tetapi dalam pembaharuan yang terjadi pada 1886 terdapat perubahan yaitu pernyataan “Suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (natuurlijke person). Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum (rechtpersoonlijkheid) tidak berlaku pada bi­dang hukum pidana,” sehingga sanksi tindak pidana penyelundupan terhadap badan hukum dikenakan sanksi pidana denda saja. terhadap perseroan, atau perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau ko­perasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud undang-­undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp 1.500.000.000. (satu miliar lima ratus juta ru­piah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam pidana penjara dan denda. (sanksi pidana tunggal, dan sanksi pidana kumulatif).
Di Indonesia sendiri kita melihat aturan yang mengikat beberapa hal badan hukum diantaranya Perseroan Terbatas (PT) yang keberadaan dan proses bisnisnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Peseroan (Persero) dapat dipertangungjawabkan secara pidana sebagaimana diatur dalam Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Per­aturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969
Sementara khusus untuk perorangan yang menjadi wadah penggerak setiap jenis kegiatan usaha/proses bisnis yang dilakukan secara konsisten dan terus menerus untuk tujuan memperoleh keuntungan/profit atau laba dalam wilayah Republik Indonesia maka dikelompokan kedalam perusahaan, misalnya Perusahaan Otobis (PO) dan Perusahaan Dagang (PD) milik swasta perseorangan. Bentuk hukum perusahaan perseorangan belum ada pengaturannya dalam undang-undang, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengusaha, dampak praktiknya dibuat tertulis di­muka notaris, berupa akta pendirian perusahaan perseorangan. Di dalam bukunya Abdulkadir Muhammad menuliskan bentuk-bentuk perusahaan di Indonesia, yaitu firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV) adalah bukan badan hukum; sedangkan Perseroan terbatas (PT) dan koperasi adalah badan usaha milik swasta (BUMS), sedangkan perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perse­roan (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selanjutnya pengelolaan keuangan dan proses bisnis dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keuanggannya tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap harus mempertanggung jawabkan keuangannya kepada negara karena seluruh turunan APBN atau pun pernah berasal dari negara maka tidak akan terpisahkan dari negara, terkecuali untuk pengelolaan BUMN tersebut sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 48/PUU-XI/2013. Namun apabila terjadi kelalaian dalam pengelolaan akan terikat langsung kepada pelanggaran hukum dan merugikan negara disebut juga “K.O.R.U.P.S.I” atau dengan kata lain ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan yang telah disertakan negara pada BUMN tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer